SEORANG MUFTI BERBAHAYA DENGAN FATWA-FATWANYA

MENGENAL ‘UBAID AL-JABIRIY “AL-QARDHAWIY TSANIY” SEORANG MUFTI BERBAHAYA DENGAN FATWA-FATWANYA

Ditulis oleh: Abu Mu’adz Husain Al-Hathibi
Diterjemahkan oleh: ‘Abdul Quddus Al-Jawy
Darul Hadits Sholahuddin di ‘Aden 22 Rojab 1434 H

‘Abdulloh bin Imam Ahmad mengatakan: “Abu Turob An-Nakho’i Asy-Syabi datang kepada ayahku. Sementara ayahku berkata: “si Fulan dho’if, si Fulan tsiqoh”. Lantas Abu Turob mengatakan: “Wahai Syaikh, janganlah engkau menggunjingkan para ulama”. Maka ayahku pun menoleh padanya seraya berkata: “Celaka kamu, ini adalah nasehat bukan gunjingan. Kemudian beliau mengatakan: “Apabila engkau diam dan aku pun diam, maka sampai kapan orang yang jahil tahu mana yang shohih dan mana yang dho’if?”[Bahrud Damm Liman Takallama Fiihil Imam Ahmad bil Madhi wadz Dzamm 8].

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Alloh semata, kita memujinya dan meminta pertolongan kepadanya. Barang siapa yang Alloh beri petunjuk maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang Alloh sesatkan maka tidak ada seorang pun yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak di sembah kecuali Alloh semata yang tiada sekutu bagi baginya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.

Saya telah membaca tentang pengumuman tentang dauroh yang akan diselenggarakan di kota ‘Aden, dengan judul “Dauroh Ibnul Qoyyim”, diselenggarakan oleh para pengikut dan pembela Al-Mar’i, yang dimulai dari tanggal 29 Rojab sampai 14 Sya’ban. Adapun pembicaranya -sebagaimana yang mereka sebutkan- adalah ‘Uba’id Al-Jabiri. Maka saya ingin menyebutkan pada beberapa lembaran tipis ini beberapa penyimpangan yang ada pada ‘Ubaid Al-Jabiri yang dengan penyimpangan tersebut menjadikan dia seorang yang tidak pantas untuk di ambil ilmu darinya.

Saya tulis risalah ini sebagai bentuk nasehat karena Allah, sebagai peringatan untuk kaum muslimin dan sebagai penjelasan tentang penipuan yang dilakukan oleh pengikut Al-Mar’i kepada masyarakat, dengan membesar-besarkan ‘Ubaid Al-Jabiri bahwasanya dia itu adalah Syaikh yang mendalam ‘ilmunya, serta dari apa yang mereka berlebih-lebihan dalam memujinya. Bersamaan dengan itu mereka mengetahui bahwa pada diri ‘Ubaid Al-Jabiri terdapat penyimpangan dan penyelisihan dalam syari’at. Berkata Ibnu Sirin: “Sesungguhnya ilmu itu agama, maka lihatlah oleh kalian dari siapa kalian mengambil agama kalian”.

Dan di dalam shohih Muslim dari Abu Hurairoh bahwasanya Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا

“Barang siapa yang menipu kami, maka dia bukan dari golongan kami”.

Menipu kaum muslimin baik dalam perkara ‘aqidah dan agama mereka, lebih parah daripada menipu mereka dalam urusan dunia mereka.

Saya menjadikan lembaran-lembaran ini sebagai bentuk ungkapan tanya jawab ‘Ubaid Al-Jabiri yang akan membuka dauroh Ibnul Qoyyim di kota ‘Aden. Sebagai biografi ringkas untuknya dengan judul mengenal “‘Ubaid Al-Jabiri melalui Tanya jawab” atau “Seorang Mufti Yang Berbahaya ‘Ubaid Al-Jabiri”.

Soal pertama: Sebatas apa pengagungan atau pemuliaan ‘Ubaid Al-Jabiri terhadap orang-orang sholih mulai dari para nabi Alloh dan para Rosul-Nya, demikian juga para salaf yang mulia, Ahlul ‘Ilmi, orang-orang sholeh dan umat Islam yang mukminin?

Jawab: Al-Jabiri, Alloh menimpanya dengan musibah berupa bentuk pencelaannya terhadap orang-orang sholih dengan kata-katanya yang kotor, yang ini menunjukkan tentang penyimpangannya. Diantara perkataannya tersebut adalah:

Berkata Al-Jabiri: “Yusuf ‘Alaihis Salaam bekerja di bawah naungan penguasa mesir. Sementara penguasa mesir tersebut adalah orang yang kafir, maka Yusuf ‘Alaihis Salaam tidak bisa menegakkan keadilan secara sempurna akan tetapi dia hanya menegakkan keadilan sesuai kemampuannya”.

Saya katakan: “Kalau para Nabi tidak mampu untuk menegakkan keadilan secara sempurna maka siapa yang dapat menegakkan keadilan secara sempurna wahai Ubaid?!!!! [Lihat Manhajul Anbiya’ fid Da’wah karya Syaikh Robi’ Al-Madkholi halaman 44 dst]

Fatwa Al-Jabiri ini berasal dari sebuah jawaban dari soal yang ditanyakan oleh seseorang dari Libiya via telfon.

‘Ubaid juga berkata tentang sahabat Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam yakni Ka’ab bin Malik Rodhiyallohu ‘Anhu: “Seandainya dia meninggal dalam keadaan masih diboikot (dihajr oleh Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya) niscaya dia meninggal dalam keadaan sesat lagi menyesatkan”.

Dia mengatakan hal tersebut dalam sebuah kaset yang berjudul “Ittihaful Basyar bi Syarhi Hadits Hudzaifah ibnul Yaman”. Perkataannya tersebut telah dibantah oleh Asy-Syaikh Al-Fauzan, Syaikh Al-Luhaidan dan Syaikh Alusy Syaikh Mufti Arab Saudi.

[Perkataan mereka dalam bentuk suara, terdapat pada situs: http://ge.tt/1w7ibee/v/0]

Tatkala Al-Jabiri didebat tentang permasalahan ini, maka tidak menampakkan bahwa ucapan ini adalah menimbulkan kerancuan, dia pun menarik kembali ucapannya tersebut dan mengganti dengan perkataannya (yang baru): ”… dikhawatirkan kalau dia meninggal dalam keadaan sesat”.

Lihatlah saudaraku para pembaca, perkataan yang sangat jelas dalam mencela dia katakan “menimbulkan kerancuan” sebagai bentuk keras kepala dan sombong untuk taroju’ dari kesalahannya, sehingga dia pun tergelincir lagi (dalam perkataannya yang baru). Orang yang diberi taufiq adalah orang yang Alloh beri petunjuk.

Berkata Ubaid tentang Syu’bah bin Al-Hajjaj Rodhiyallohu ‘Anhu, Amirul Mu’minin dalam ilmu hadits: “Syu’bah Rahimahulloh, para ulama tidak menerima jarhnya (kritikannya) karena orang ini adalah orang yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam menjarh”.

Saya katakan: Subhanalloh, tidak ada yang selamat dari Al-Jabiri sampai para imam-imam hadits dan para ulama’ salaf. Perkataannya telah dibantah oleh Syaikh kami Yahya bin ‘Ali Al Hajuri Hafizhohulloh dan bantahan beliau tersebut telah tersebar.

Syaikh abu ‘Amr Al Hajuri Hafizhohulloh menukilkan bahwa beliau mendengar Syaikh Robi’ bin Hadi Al-Madkholi Hafizhohulloh berkata bahwa Al-Jabiri telah mengkafirkannya (yakni mengkafirkan Syaikh Robi’), Wallohul musta’an.

Begitu pula dalam rekaman fatwanya bahwa dia telah menghukumi Syaikh kami Yahya Hafizhohulloh telah murtad.

Dan ada seseorang dari Al-Jazair menelpon Al-Jabiri, maka dia mendesak Al-Jabiri, sehingga Al-Jabiri pun berkata pada orang tersebut: “Semoga Alloh tidak memberkahimu”, kemudian dia berkata: “Orang-orang Aljazair dan Libiya adalah keledai-keledai, kecuali yang dirohmati oleh Alloh”.

[Perkara ini telah tersebar, hal ini diperkuat oleh Al-Jabiri dalam perkataannya di “At-Tibyan bi Kasysfi Dasisatil Fitan”]

Saudara kami yang mulia Abdul Hakim Ar-Roimi mengatakan: “Aku mendengar Al-Jabiri mengatakan: “Seandainya urusan itu ada di tanganku niscaya akan aku larang secara total orang-orang Aljazair dan Libiya untuk masuk Arab Saudi”.

Saya katakan: Alhamdulillah urusan ini bukan berada di tanganmu dan perkara ini hanya milik Alloh dari dulu dan yang akan datang.

Pertanyaan kedua: Apakah Al-Jabiri berfatwa bolehnya mengambil sesuatu dari hasil riba?

Jawab: Ya, akan tetapi dengan cara pengkaburan dan perancuan masalah. Boleh menurutnya, untuk bekerja di bank ribawy, akan tetapi pada pekerjaan yang tidak ada riba padanya, sebagaimana dia membolehkan untuk menyewakan bangunan-bangunan kepada bank ribawy karena hal ini tidak ada kaitannya dengan riba -menurutnya-. Sebagaimana pula dia membolehkan untuk bekerja menjadi penjaga (satpam) di bank yang bermuamalah dengan muamalah riba, dan dia menganggap bahwa hasil usaha satpam tersebut adalah halal, dan dia tidak usah bertanya tentang tempat yang dia bekerja di situ, apakah di situ terdapat keharaman atau tidak.

Saya katakan: Ini adalah Al-Qordhowi nomer dua, Allohul musta’aan.

[Konteks fatwa Al-Jabiri ini terdapat di situs Aloloom As-Salafiyyah dan di kitab “Al-Hujajul Kasyifah ‘An Fitnatil Jabiri wadh Dholalatihi Az-Zaifah hal 180-181”, karya Syaikh Yusuf Aljazairi]

Pertanyaan ke tiga: Bagaimana sikap Al-Jabiri tentang belajar kepada ahlul bid’ah, bergaul bersama mereka dan mengambil ilmu dari mereka?

Jawab: Ini adalah perkara yang luas menurut Al-Jabiri. Maka boleh oleh Al-Jabiri bagi anak-anak untuk belajar di sekolah yang dimana diajarkan padanya aqidah Asy‘ariyyah, dan para pengajarnya adalah para hizbi, ditambah adanya ikhtilath (campur baur lawan jenis) pada sekolah tersebut.

Dia mengatakan: “Ini adalah musibah, akan tetapi hendaknya engkau mempersiapkan anakmu dan menjelaskan padanya kesalahan pada aqidah ini”. [Lihat: Al-Hujajul Kasyifah hal 227]

Dia juga mengatakan: “Tidak mengapa mengambil ilmu dari orang-orang yang tidak jelas keadaannya, karena mereka tergolong masyarakat awam dari kaum muslimin”. [Dinukil dari situs: Mirotsul Anbiya’ bagian ‘Aqidah dan Manhaj]

Dan boleh menurutnya belajar kepada hizbiyyin akan tetapi harus waspada. Begitu pula mengambil ilmu dari sebagian orang yang berpemahaman takfiri, dikarenakan jauhnya jarak orang ini dari salafiyyin. [Fatwa ini ada di dalam situs: Mirotsul Anbiya’ bagian Menuntut Ilmu]

Al-Jabiri mengatakan: “Tidak mengapa mendengarkan bantahan orang sururi terhadap kelompok sesat kalau tidak di dapatkan yang selainnya”.

Saya katakan: Subhanalloh, apakah Surury itu menurut Al-Jabiri adalah kelompok sesat atau kelompok yang diberi petunjuk???

Dia juga mengatakan tentang Universitas Al-Azhar bahwa ia adalah Universitas tua dan berakar. Telah dikenal di dunia islam dan selainnya. Ada pun Dammaj maka haram -menurutnya- belajar disana.

Berkata Hudzaifah Rodhiyallohu ‘Anhu: “Kesesatan yang paling sesat itu adalah menganggap baik sesuatu yang engkau dahulu ingkari dan engkau mengingkari sesuatu yang dulu engkau anggap baik.

‘Ubaid mendorong untuk menyebarkan bantahan-bantahan majaahil (orang-orang yang tak jelas) terhadap ahlussunnah, sebagaimana perbuatan Abul Hasan Al-Mishri. Burung itu hinggap bersama sejenis dengannya.

Pertanyaan keempat: Apakah Al-Jabiri menganggap boleh mendirikan yayasan atau bergabung pada yayasan, yang dimana yayasan tersebut di bawah naungan ikhwanul muslimin ???

Jawab: Pada pertanyaan yang berasal dari Maroko yang diajukan kepada Al-Jabiri tentang bolehkah mendirikan yayasan? Maka dia pun menjawab: “Boleh karena itu dhorurot dan hendaknya seseorang yang akan mendirikan yayasan melihat pada firqoh (kelompok) atau golongan yang paling mendekati kebenaran sehingga dia dapat bekerja di bawah naungan firqoh tersebut”.

Beginilah dhorurot menurut Al-Jabiri. Tidaklah Al-Qordhowi itu sesat dalam kebanyakan fatwanya melainkan pada masalah seperti ini, dimana dia terlalu bermudah-mudahan padanya dengan mengatas-namakan agama Alloh. [Fatwa Al-Jabiri ini tersebar di situs: Sahab]

Fatwa lain Al-Jabiri adalah: Dia memperbolehkan pada sebagian salafi di Libiya untuk bergabung bersama ikhwanul muslimin, bekerja bersama-sama mereka dan pada permasalahan waqof boleh untuk bernaung di bawah naungan mereka. [Fatwa ini telah tersebar pada situs http://www.ajurry.com/vb/attachment….1&d=1316632047%5D

Pertanyaan kelima: Apa pendapat Al-Jabiri tentang parabola, televisi dan menonton pertandingan-pertandingan sepak bola ???

Jawab: Pada masalah ini Al-Jabiri ingin memberi keringanan kepada pelaku ma’siat pada ma’siat mereka, akan tetapi dengan dalil-dalil Islam -sangkanya-.

Orang-orang itu melakukan kemungkaran tak butuh dengan fatwa wahai ‘Ubaid!!! Maka janganlah engkau menambah lumpur itu semakin basah.

Dia pun mengatakan: “Sesungguhnya membeli televisi untuk sesuatu yang bermanfaat seperti melihat berita, acara religi, dan ilmiah, serta juga menonton channel-channel yang menyiarkan acara beraneka ragam tidak mengapa”.

Tentu saja dengan alasan faidah menurut Al-Jabiri, seperti untuk mengetahui sebagian acara kesyirikan yang terjadi pada suatu kelompok. Tidak mengapa pula menurut Al-Jabiri para ulama dan da’i muslimin untuk muncul di televisi untuk memberi manfaat kepada manusia, bahkan Al-Jabiri membolehkan pada seseorang untuk melihat kepada calon istrinya melalui internet, apabila orang yang mau melamarnya tersebut mendapatkan kesusahan untuk hadir.

Dia juga mengatakan: “Menonton pertandingan sepak bola di televisi merupakan suatu musibah yang sudah melebar luas, barang siapa yang mampu untuk meninggalkannya maka hendaknya dia meninggalkan perkara tersebut. Adapun jika dia tidak mampu untuk meninggalkannya maka tidak mengapa bagi dia untuk menonton pertandingan sepak bola, akan tetapi hendaknya dia menjauhi pandangan yang menggiurkan atau memberi kenikmatan, terutama wanita, agar tidak timbul pada diri penonton sikap lupa diri, sehingga dia memuji sebagian kelompok dan mengolok-olok sebagian kelompok lainnya agar tidak terlewatkan tontonan ini sebagai sebuah maslahat”.

Saya katakan: Betapa miripnya pengecualian Al-Jabiri ini dengan pengecualian yang dilakukan oleh Rofidhoh pada fatwa-fatwa mereka. [Lihat situs: “Mirotsul Anbiya’” atau Al- Hujajul Kasyifah Hal: 130-136]

Pertanyaan keenam: Bagaimana pendapat Al-Jabiri tentang ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan perempuan?

Jawab: Tidak mengapa bagi Al-Jabiri untuk belajar di sekolah yang ada ikhtilathnya dengan alasan dhorurot. Seorang salafi apabila ia terpaksa untuk berikhtilath hendaknya dia menundukkan pandangannya, dan hal ini tidak akan merusak nilai kesalafiannya insya alloh. Barang siapa yang sekolah yang terdapat di dalamnya musik dan ia tidak mampu untuk berlepas diri darinya maka menurut Al-Jabiri tidak mengapa kalau dhorurot asalkan hatinya tentram dengan keimanan.

‘Ubaid menasehati sebagian orang-orang Libiya yang belajar di sekolah ikhtilath agar berada di depan dan menjadikan para wanita di belakang mereka. Apabila nanti telah lulus dari sekolah tersebut, hendaknya dia mengajar di sekolah ikhtilath juga, akan tetapi dia senantiasa melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, mengajarkan tauhid dan sunnah.

Saya katakan: Masya alloh, menegakkan tauhid dan sunnah di tengah-tengah kaum wanita? Mau dikemanakan da’wah ini ??? betapa jeleknya fatwa tersebut.

Seorang salafi yang berkerja di tempat ikhtilath, Al-Jabiri menasehatinya agar menundukkan pandangan dan mempersedikit pembicaraan bersama wanita kecuali sesuai kebutuhan saja ketika bekerja. Fatwa ini dikutip dari pertanyaan yang diajukan kepadanya di masjid Al-Iman di kota ‘Aden pada tanggal 10 Rojab 1429 H. [Lihat Al-Hujajul Kasyifah]

Ada seorang wanita dari Aljazair bertanya kepada ‘Ubaid Al Jabiri tentang hukum berkerja di bidang kedokteran yang diharuskan memakai pakaian medis. Maka ‘Ubaid pun menjawab: “Hendaknya dia senantiasa berada bersama para wanita, dan apabila dia terpaksa untuk berkerja bersama para lelaki hendaknya dia memakai pakaian yang tertutup, dan menjadikan di atasnya lambang atau tanda agar di ketahui bahwa dia itu adalah dokter. Begitu pula hendaknya dia membuka wajahnya agar dibedakan antar dirinya dan para perawat”.

Saya katakan: Sangat senang sekali para da’i yang menyeru untuk merusak kaum wanita dengan fatwa semacam ini, yang akan banyak memudahkan mereka untuk melakukan kerusakan mengatas namakan agama Alloh. [Lihat situs Mirotsul Anbiya’ bagian fiqh, fatwa pada tanggal 28-01-2012 M].

Dan dari keajaiban Al-Jabiri, bahwasanya dia memberi fatwa pada seorang pelajar dari Aljazair yang belajar di fakultas kedokteran, dan pelajar tesebut tidak bisa mendapatkan ijizah dokter kecuali apabila ia memeriksa wanita dalam beraneka ragam bidang spesialis, sampai-sampai dalam permasalahan bersalin dan berbagai jenis penyakit khusus wanita, yang mesti dia praktekkan tiga bulan sebelum kelulusan.

Maka ini pun tidak mengapa menurut Al-Jabiri jika dia tidak dapat berlepas diri darinya. Akan tetapi hendaknya dia senantiasa menundukkan pandangannya. Kemudian ‘Ubaid pun mengatakan -dan jelek sekali perkataannya-: ”Aku tidak mengira engkau memeriksa wanita sendirian, yakni mesti ada sekelompok orang yang bekerja sama dalam memeriksa atau membantu bersalin seorang wanita atau menyingkap aurotnya”.

Jadi permasalahan seperti ini menurut Al-Jabiri bukan dikatakan kholwat (menyendiri dengan bukan mahram). Yaa Alloh jagalah akal-akal kami dan kokohkanlah kami di atas agama-Mu.

Pertanyaan ketujuh: Apa pendapat Jabiri tentang di atas hukum meminta-minta?

Jawab: Bahkan sampai pada perkara ini Al-Jabiry terjerumus padanya, sebagaimana terjerumusnya para dedengkot yayasan. Al-Jabiri telah berfatwa bolehnya mengumpulkan harta (dengan cara meminta-minta) untuk kemaslahatan pada sebuah masjid di Amerika. Dia membolehkannya -menurut sangkaannya- karena beberapa perkara, diantaranya: Bahwa negara mereka negara kafir sehingga tidak memberikan kepada mereka suatu apapun, lagi pula mereka tidak memiliki usaha atau pencaharian. [Fatwa ini tersebar di situs info@authenticstatements.com]

‘Ubaid memberikan rekomendasi kepada Abdulloh Al-Mar’i untuk para dermawan agar bahu membahu bersamanya ,dan rekomendasi tersebut telah tersebar. Abdulloh Al-Mar’i itu meminta-minta tanpa ada rekomendasi bagaimana kalau ada orang yang menguatkan atau mendukungnya, Allohul Musta’aan.

Pertanyaan kedelapan: Apa pendapat Al-Jabiri tentang berpencaharian di negara kafir?

Jawab: Pekerjaan ini diberkahi oleh Al-Jabiri. Dia mengatakan kepada sebagian kaum muslimin yang ada di Perancis: “Selama kalian masih bisa menegakkan syi’ar-syi’ar Islam, maka hijroh bagi kalian tidaklah wajib hukumnya”. Bahkan dia memberi fatwa pada kaum muslimin yang ada di Eropa agar berhijroh ke Birmingham, salah satu kota yang ada di Inggris, maka tatkala Syaikh kami Al-Hajuri membantahnya, kelihatannya dia pun taroju’ dari ucapannya dan itu pun menjelaskan bahwa yang di maksud hijroh ke Birmingham adalah ke maktabah As-Salafiyyah yang ada di kota Birmingham!! (Perhatikanlah pada permainan dan pertentangan yang nyata ini). [Lihat situs: http://www.albaidha.net/vb/showthread.php?t=28091%5D

Bahkan lebih besar dari itu dia membolehkan untuk mengambil kewarnegaraan kafir dengan alasan dharurot, apabila diminta untuk bersumpah bahwa dia berloyalitas kepada negara yang dia ditinggalinya tersebut, maka dia jawab dengan ma’aridh (jawaban yang mengelabui).

Saya katakan: Betapa bahayanya mufti ini. Didapatkan jalan keluar bagi para pelaku maksiat dan mudah baginy mereka untuk sampai kepadanya. Ini adalah jalan yang ditempuh oleh para Imam yang menyeru pada hawa nafsu dan para da’i yang jelek. Wal ‘Iyaadzubillah.

Pertanyaan kesembilan: Bagaimana engkau lihat Al-Jabiri dalam masalah pemilu?

Jawab: Saya melihat tidak ada bedanya antara dia dan Ikhwanul Muslimin. Hujjah dia sama dengan hujjah mereka agar Rofidhoh tidak berkuasa, agar yang menjadi pemimpin bukan orang-orang awan dan agar orang-orang atheis tidak menang. Dengan pembenaran-pembenaran seperti ini Ikwanul Muslimin membolehkan pemilu dan yang semacammya. ‘Ubaid mengatakan ketika dia mendorong Ahlussunnah yang ada di Irak agar masuk dalam pemilu, begitu pula di Mesir dan fatwanya beredar di situs Sahab. Tentu saja, Al-Jabiri pada fatwa yang semacam ini dia melemparkannya ke dalam tong dhorurot (permasalahan dharurot) yang telah melampaui akal pikirannya. Sehingga diapun membolehkan kaum muslimin unruk terjerumus dalam banyak penyimpangan.

Begitu pula ‘Ubaid – menurut sangkaannya- membolehkan kaum muslimin untuk masuk dalam pemilu apabila hak-hak mereka tidak terpenuhi. Bahkan lebih jelek dari itu dia membolehkan kaum muslimin yang ada di negeri barat agar ikut ke dalam pemilu, agar mereka mendapatkan hak-hak meeka dan apabila mereka meninggalkannya maka itu lebih baik. Subhanalloh, waro’ macam apa ini?

Pertanyaan kesepuluh: Apa yang membuat Al-Jabiri untuk mengobati sihir dengan mendatangi tukang sihir?

Jawab: Al-Jabiri berfatwa bolehnya menghilangkan sihir dengan pergi ke tukang sihir, akan tetapi dian menberikan persyaratan. Pertama: orang yang terkena sihir tersebut harus tahu betul siapa yang menyihirnya. Kedua: orang yang terkena sihir tersebut sudah lelah dari penyakit sihir yang dideritanya dan ruqyah sudah tidak lagi mempan terhadapnya atau dia tidak mendapatkan ruqyah. Ketiga: menyerahkan penyihir tersebut pada pihak terkait dan mengharuskannya untuk mengobati sihir yang dideritanya. Keempat; meskipun penyihir tersebut sudah bertaubat (meninggalkan sihir) dia boleh untuk menggunakan sihirnya kembali untuk membebaskan sihir pada orang lain meskipun dengan menggunakan jimat atau mantra-mantra, hal ini karena dharurot.

Betapa menyedihkannya seorang mufti yang faqih dan Ahli Ushul? yang tidak berfatwa kecuali menggunakan persyaratan dan aturan-aturan yang dapat menjerumuskan kaum muslimin kepada lautan kegelapan. Al-Jabiri pada perkara ini telah di bantah dan bantahannya tersebar di Aloloom.

Pertanyaaan kesebelas: Bagaimana keadaan Al-Jabiri pada permasalahan takfir (pengkafiran)?

Jawab: Al-Jabiri pada masalah ini sama sekali tidak memiliki waro’ (kehati-hatian akan perkara yang bisa menjatuhkannya kepada dosa), dia memiliki ungkapan-ungkapan yang serupa dengan ungkapannya Sayyid Quthb tentang masyarakat yang ada. Dia mengatakan di Syarh Ushul Sittah hal 80: “Seandainya engkau dapat memilah dan menyaring kaum muslimin, niscaya akan engkau dapati mereka tidaklah bersatu di atas kalimat Laa ilaha illalloh Muhammadun Rosululloh. Yakni seandainya engkau melihat dengan pandangan yang kenyataan yang terjadi pada kaum muslimin, engkau dapati mereka bersatu di atas apa?? Yang engkau dapati mereka hanya bersatu di atas kalimat Laa ilaha illalloh tanpa mengetahui maknanya dan mengamalkannya !!! Diantara mereka ada penyembah kubur, Rofidhoh dan diantara mereka juga ada Shufi hululy, dan yang lainnya”.

Telah lewat bahwa Al-Jabiri telah menghukumi Syaikh kami Yahya Al-Hajuri telah murtad begitu pula menghukumi kafirnya Syaikh Robi’. Demikianlah ahlul Bathil mereka terus menerus terjerumus dalam kejelekan dan kita memohon kepada Alloh keselamatan.

Pertanyaan kedua belas: Apakah Al-Jabiri berfatwa untuk mencukur jenggot?

Jawab: Al-Jabiri adalah mufti yang berbahaya, sampai pada masalah ini pun dia mengetuknya, dia mengatakan: “Boleh mencukur jenggot bagi para tentara dengan alasan dharurot”. Bantahannya telah tersebar di situs Aloloom As-Salafiyyah.

Pertanyaan ketiga belas: “Apakah Al-Jabiri seorang yang tsiqoh (berhak dipercaya) dalam ucapan dan penukilannya?

Jawab: Al-Jabiri adalah seorang yang dho’if (lemah) karena dia ditalqin (bisa didiktekan padanya) kebohongan kemudian diapun menukilannya tanpa mengecek terlebih dahulu. Orang-orang yang menukilkan padanya adalah para Haatibul Lail (pencari kayu bakar di malam hari, yakni tidak bisa membedakan antara kayu dengan ular) seperti ‘Arofat Al-Bushiri, Hani Buroik dan yang selain keduanya, bahkan sebagaian kabar yang mereka nukil adalah cerita yang dibuat-buat.

Al-Jabiri terkadang mengatakan: “Gubernur provinsi Sha’dah adalah ‘Ali Muhsin Al-Ahmar”, dan terkadang dia mengatakan: “Al-Hajuri, datang darinya dua riwayat. Yang pertama: dia itu pernah bekerja di Saudi pada toko “Serba Dua Riyal”. Yang kedua: dia pernah bekerja di bengkel”. Al-Jabiri juga mengatakan: “Al-Hajuri pergi belajar ke Dammaj setelah perang teluk yang kedua”. Dan dia juga berkata: “Al-Hajuri telah diusir olrh Syaikh Muqbil, kemudian ‘Abdurrohman Al-Adani memberi syafa’at untuknya”.

Ini semua adalah kedustaan yang nyata. Cukup satu saja, dapat menggugurkan kapabilitasnya. Syaikh kami Nashihul Amin telah membantahnya dan bantahannya tersebar dia situs Aloloom As-Salafiyyah.

Pertanyaaan keempat belas: Apakah Al-Jabiri bermudah-mudahan dalam perkara dharurot?

Jawab: Ya dia bermudah-mudahan yang tak ada tandingannya, menyerupai Ikhwanul Muslimin, bahkan pada sebagian masalah dia melebihi mereka dengan berkali lipat.

Di antaranya jika seseorang imam masjid diminta agar memperingati maulid Nabi dalam khutbah jum’at atau (kalau tidak mau) dia tidak boleh khutbah lagi, maka ‘Ubaid pun mendorong dia untuk memperingati maulid Nabi, mengenang sejarahnya dan menggunakan ungkapan-ungkapan yang sekan-akan dia mengingkarinya.

Begitu pula apabila dia diharuskan untuk melakukan qunut pada sholat subuh maka hendaknya dia melakukan qunut secara pelan-pelan. Demikian juga yang selainnya dari fatwa-fatwa yang untuk disebutkan saja kita malu, apalagi untuk dibantah.

Ahlussunnah telah membantah Al-Jabiri pada fatwa-fatwanya yang menyelisih Al-Haq dan bantahannya telah tersebar di internet terkhusus situs Aloloom As-Salafiyyah.

Maka tatkala fatwa-fatwa Al-Jabiri tidak berbobot, para hizbiyyin pemilik situs Wahyain tidak menyebarkan fatwa-fatwanya, padahal Al-Jabiri di sisi mereka adalah seorang Imam, akan tetapi mereka tahu bahwa menyebarkan fatwa-fatwanya adalah suatu keburukan.

Yang saya sebutkan ini hanyalah sebagian kecil dari fatwa-fatwa Al-Jabiri secara ringkas, bagi yang ingin melihat konteks aslinya, hendaknya melihat di situs Aloloom bersama bantahannya.

Sesungguhnya saya ajukan tulisan ini untuk anak-anak ‘Aden yang cinta terhadap ilmu dan Sunnah, agar mereka menjauhi dauroh-dauroh yang diisi oleh orang-orang semisal ‘Ubaid Al-Jabiri -hadahulloh-, serta agar mereka hanya memfokuskan kepada da’i dari kalangan Ahlussunnah yang jujur, yang mempunyai manhaj yang murni, wallohul Musta’an.

————————————-

Baca juga:

————————————–

BISMILLAAH KAMI BERLEPAS DIRI DARI IKLAN SISIPAN WORDPRESS YANG BERGAMBAR DIBAWAH TULISAN INI, INI DILUAR OTORITAS PENGELOLA BLOG, BAAROKALLOHU FIIKUM

Tag: , , , , ,

Tinggalkan komentar